BREAKING NEWS

Tanya Jawab

Masjid Raya Batam 1

Jalan Engku Putri Batam Center

Masjid Raya Batam 2

Jalan Engku Putri Batam Center

Masjid Raya Batam 3

Jalan Engku Putri Batam Center

Masjid Raya Batam 4

Jalan Engku Putri Batam Center

Masjid Raya Batam 5

Jalan Engku Putri Batam Center

Fasilitas

Program

Artikel

Berita

Friday 29 August 2014

Perbedaan Antara Iblis, Jin, dan Setan

Tema iblis, jin, dan setan, sering menimbulkan tanda tanya bagi mereka yang belum paham. Namun yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat Islam. Sehingga, jika masih ada dari kalangan umat muslim yang meragukan keberadaan mereka, teramat pantas jika diragukan keimanannya.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dengan risalah yang umum dan menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja namun juga untuk selain Arab.

Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi umat seluruhnya. Bahkan Allah mengutusnya kepada segenap Ats Tsaqalain, yakni kepada jin dan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا

“Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (QS. Al A’raf: 158)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً

“Adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya sedang aku diutus kepada seluruh manusia” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu 'Anhuma)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ. قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا أَجِيْبُوا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَمَنْ لاَ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ

“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekumpulan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran. Maka ketika mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan lepas dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahqaf: 29-32)

Jin Diciptakan Sebelum Manusia

Tidak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari keberadaan jin. Demikian juga mayoritas meyakini keberadaannya. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui eksistensinya sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian kecil dari mereka yang mengingkarinya.

Sebagaimana ada juga di antara kaum muslimin yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan sebagian paham penganut Mu’tazilah. Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal yang tak dapat disangkal lagi mengingat pemberitaan dari para nabi sudah sangat mutawatir dan diketahui orang banyak.

Secara pasti, kaum jin adalah makhluk hidup, berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan kehendak. Bahkan mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja mereka tidak memiliki sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia atau selainnya. (Idhahu Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9).

Saat ini, ada sebagian orang-orang masih mengingkari keberadaan jin. Dan dalam hal ini ada ungkapan bahwa yang keliru bahwa dikatakan: “Sesungguhnya jin itu hanyalah ungkapan atau gambaran tentang bakteri-bakteri. Karena ia tidak dapat dilihat kecuali dengan perantara mikroskop” (Nashihatii li Ahlis Sunnah minal Jin oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu).

Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُوْنٍ. وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” (QS. Al Hijr: 26-27)

Karena jin lebih dulu ada, maka Allah mendahulukan penyebutannya daripada manusia ketika menjelaskan bahwa mereka diperintah untuk beribadah seperti halnya manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Jin, Setan, dan Iblis

Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam Alquran, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Alquran dan As Sunnah serta ijma’ ulama.

Tinggal persoalannya, apakah jin, setan, dan iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang berbeda ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk golongan para malaikat? Yang pasti, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:

وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ

“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” (QS. Al Hijr: 27)

Juga firman-Nya:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

“Dan Dia (Allah) menciptakan jin dari nyala api” (QS. Ar Rahman: 15)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَتِ الْجَانُّ مِنْ مَّارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian” (HR. Muslim No. 2996 dari ’Aisyah Radhiallahu 'Anha)
Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentangnya:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (QS. Al Kahfi: 50)

Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata: “Iblis mengkhianati asal penciptaannya, karena dia sesungguhnya diciptakan dari nyala api, sedangkan asal penciptaan malaikat adalah dari cahaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan di sini bahwa Iblis berasal dari kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api.

Al Hasan Al Bashri berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun. Iblis merupakan asal mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula manusia’” (Lihat tafsir Alquranul ’Azhim 3/94)

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullahu mengatakan: “Iblis adalah abul jin (bapak para jin)” (Tafsir Al Karim Ar Rahman, halaman 406 dan 793)

Sedangkan setan, mereka adalah kalangan jin yang durhaka. Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Rahimahullahu pernah ditanya tentang perbedaan jin dan setan, beliau menjawab:

“Jin itu meliputi setan, namun ada juga yang shalih. Setan diciptakan untuk memalingkan manusia dan menyesatkannya. Adapun yang shalih, mereka berpegang teguh dengan agamanya, memiliki masjid-masjid dan melakukan shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya. Hanya saja mayoritas mereka itu bodoh” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)

Siapakah Iblis?

Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin. Pendapat pertama menyatakan bahwa iblis berasal dari jenis jin. Ini adalah pendapat Al Hasan Al Bashri Rahimahullahu. Beliau menyatakan:

“Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya).

Pendapat ini pula yang tampaknya dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur‘an (3/215), dan Asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120). Penjelasan tentang dalil pendapat ini beliau sebutkan dalam kitab tersebut.

Secara ringkas, dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:

لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)

لاَ يَسْبِقُوْنَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُوْنَ

“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya” (QS. Al Anbiya`: 27)

2. Dzahir surat Al Kahfi ayat 50

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Tuhan-Nya.”

Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa iblis dari jin, dan jin bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat ini menyatakan: “Ini adalah nash Alquran yang tegas dalam masalah yang diperselisihkan ini.”

Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling kuat dalam masalah ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis bukan dari malaikat.”

Adapun pendapat kedua yang menyatakan bahwa iblis dari malaikat, menurut Al Qurthubi, adalah pendapat jumhur ulama termasuk Ibnu ‘Abbas Radhiallahu 'Anhuma. Alasannya adalah firman Allah:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34)

Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat.Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, insya Allah, karena kuatnya dalil mereka dari ayat-ayat yang jelas.

Adapun alasan pendapat kedua (yakni surat Al Baqarah ayat 34), sebenarnya ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa iblis dari malaikat. Karena susunan kalimat tersebut adalah susunan istitsna` munqathi’ (yaitu yang dikecualikan tidaklah termasuk jenis yang disebutkan).

Adapun cerita-cerita asal-usul iblis, itu adalah cerita Israiliyat. Ibnu Katsir menyatakan: “Dan dalam masalah ini (asal-usul iblis), banyak yang diriwayatkan dari ulama salaf. Namun mayoritasnya adalah Israiliyat (cerita-cerita dari Bani Israil) yang (sesungguhnya) dinukilkan untuk dikaji –wallahu a’lam–, Allah lebih tahu tentang keadaan mayoritas cerita itu.

Dan di antaranya ada yang dipastikan dusta, karena menyelisihi kebenaran yang ada di tangan kita. Dan apa yang ada di dalam Alquran sudah memadai dari yang selainnya dari berita-berita itu” (Tafsir Ibnu Katsir 3/94).

Asy Syinqithi menyatakan: “Apa yang disebutkan para ahli tafsir dari sekelompok ulama salaf, seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu iblis termasuk pembesar malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia, dan namanya adalah ‘Azazil, ini semua adalah cerita Israiliyat yang tidak bisa dijadikan landasan” (Adhwa`ul Bayan 4/120-121)

Siapakah Setan?

Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ) dalam bahasa Arab diambil dari kata (شَطَنَ) yang berarti jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata (شَاطَ) yang berarti terbakar atau batal. Pendapat yang pertama lebih kuat menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala (Al-Misbahul Munir, hal. 313).

Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam bahasa Arab adalah setiap yang durhaka dari jin, manusia atau hewan, atau dari segala sesuatu.

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al An’am: 112).

(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan dari jenis manusia, seperti halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah setiap yang durhaka disebut setan, karena akhlak dan perbuatannya menyelisihi akhlak dan perbuatan makhluk yang sejenisnya, dan karena jauhnya dari kebaikan (Tafsir Ibnu Jarir 1/49).

Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan adalah semua yang keluar dari tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga Al-Qamus Al Muhith (hal. 1071).

Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (QS. Al An’am: 112).

Al Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar Radhiallahu 'Anhu, ia berkata: Aku datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan beliau berada di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah kamu sudah salat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan salatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata: “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”

Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadis ini: “Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadis tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya” (Tafsir Ibnu Katsir 2/172).

Yang mendukung pendapat ini juga hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Aallam dalam riwayat Imam Muslim:

الْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ

“Anjing hitam adalah setan.”

Ibnu Katsir menyatakan: “Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing” (Tafsir Ibnu Katsir 2/173).

Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.
Dalam masalah ini ada tafsir lain terhadap ayat itu, tapi itu adalah pendapat yang lemah.

Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ. قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَ. قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ

“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukumiku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (QS. Al A’raf: 14-17)

Setan adalah turunan Iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً

“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim” (QS. Al Kahfi: 50). Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan. (Tafsir Al Karim Ar Rahman hal. 453)

Penggambaran Tentang Jin

Al jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang tersembunyi.

Jin memiliki ruh dan jasad. Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Jin memiliki ruh dan jasad. Hanya saja mereka dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta mereka bisa masuk dari tempat manapun.

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’. Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala atasnya.

Demikian juga bila seseorang masuk ke rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah, maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap malam’” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin).

Jin bisa berujud seperti manusia dan binatang. Dapat berupa ular dan kalajengking, juga dalam wujud unta, sapi, kambing, kuda, bighal, keledai dan juga burung. Serta bisa berujud Bani Adam seperti waktu setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk Suraqah bin Malik kala mereka hendak pergi menuju Badr.

Mereka dapat berubah-ubah dalam bentuk yang banyak, seperti anjing hitam atau juga kucing hitam. Karena warna hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan setan dan mempunyai kekuatan panas (lihat Idhahu Ad Dilalah hal. 19 dan 23).

Kaum jin memiliki tempat tinggal yang berbeda-beda. Jin yang shalih bertempat tinggal di masjid dan tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin yang jahat dan merusak, mereka tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat yang kotor (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin).

Tulang dan kotoran hewan adalah makanan jin. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata kepada Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu:

ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ. فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ أَحْمَلُهَا فِي طَرَفِ ثَوْبِي حَتَّى وَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مَشَيْتُ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثَةِ؟ قَالَ: هُمَا مِنْ طَعَامِ الْجِنِّ وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِّ نَصِيْبِيْنَ وَنِعْمَ الْجِنُّ فَسَأَلُوْنِي الزَّادَ فَدَعَوْتُ اللهَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَمُرُّوا بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَدُوا عَلَيْهَا طَعَامًا

“Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci dan janganlah engkau carikan tulang dan kotoran hewan.” Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu berkata: “Aku pun membawakan untuknya beberapa buah batu dan kusimpan di sampingnya. Lalu aku menjauh hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”

Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?” Beliau menjawab: “Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin, dan mereka adalah golongan sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkan makanan” (HR. Al Bukhari No. 3860 dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, dalam riwayat Muslim disebutkan: “Semua tulang yang disebutkan nama Allah padanya”).

Gambaran Tentang Iblis dan Setan

Iblis adalah wazan dari fi’il, diambil dari asal kata al-iblaas yang bermakna at-tai`as (putus asa) dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka adalah musuh nomer satu bagi manusia, musuh bagi Adam dan keturunannya.

Dengan kesombongan dan analoginya yang rusak serta kedustaannya, mereka berani menentang perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala saat mereka enggan untuk sujud kepada Adam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34)

Dengan analoginya yang sangat menyesatkan, Iblis pun menjawab perintah Allah:

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ

“Aku lebih baik darinya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS. Al A’raf: 12).

Analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini adalah qiyas batil karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang menyuruhnya untuk sujud. Sedangkan qiyas jika berlawanan dengan nash, maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas itu adalah menetapkan hukum yang tidak ada padanya nash, mendekatkan sejumlah perkara kepada yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash.

Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan tetap digunakan atau diakui, maka konsekuensinya akan menggugurkan nash. Dan inilah qiyas yang paling jelek! Sumpah mereka (iblis) untuk menggoda Bani Adam terus berlangsung sampai hari kiamat setelah mereka berhasil menggoda Abul Basyar (bapak manusia) Adam dan vonis sesat dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan kita dengan firman-Nya:

يَابَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS. Al A’raf: 27).

Karena setan sebagai musuh kita, maka kita diperintahkan untuk menjadi musuh setan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS. Fathir: 6).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً

“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim” (QS. Al Kahfi: 50). Semoga kita terlindung dari godaan-godaan iblis, jin, dan setan, amin. Wallahu T’ala A’alam.

Thursday 10 July 2014

Gus Reza M. Syarief: Berkencan dengan Takdir

Gus Muhammad Reza M. Syarief
Penulis buku dan motivator Indonesia, Gus Reza M. Syarief sangat prihatin dengan banyaknya kasus perceraian yang terjadi dalam sebuah rumah tangga.

Walau demikian, kasus tersebut tidak terlepas dari berbagai persoalan yang kompleks di dalam keluarga itu sendiri. Tidak semua keluarga, mengerti dan memahami fungsi dan tugasnya masing-masing.

Meski demikian, ia menawarkan beberapa solusi agar rumah tangga yang tengah dijalani bisa bertahan lama.

Menurut Reza, ada enam model rumah tangga, yakni model hotel, rumah sakit, pasar, kuburan, sekolah, dan masjid. Dalam rumah tangga itu ada sopir dan kernet, ada imam dan makmum.

"Ketika sudah memahami tugas dan fungsinya maka semuanya akan berjalan dengan selaras,” ujar Reza M Syarief ketika mengawali tabligh akbar mengusung tema "Berkencan dengan Takdir" di Masjid Raya Batam, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, (19/10/2007).

Ia menggambarkan rumah tangga model hotel hotel seperti tempat transit atau persinggahan sementara, yakni untuk urusan tiga UR, dapur, kasur dan sumur.

Lebih tegas model ini hanya untuk makan, tidur, dan membuang hajat. Menurutnya, nilai-nilai dalam rumah tangga itu sebagian kecil yang bisa tertunaikan.

“Bisa dibayangkan bagaimana kondisi rumah tangga yang terbangun ketika situasi ini terjadi di dalamnya. Pertengkaran dan ketidakharmonisan akan terus melingkupinya.

Kehancuran sudah pasti akan terjadi pada rumah tangga model ini,” jelas peraih rekor dunia training motivasi terlama 24 jam nonstop di Mercure Hotel Jakarta beberapa waktu lalu.

Mengenai rumah tanga model rumah sakit, di dalamnya terdapat pasien dan dokter yang berlangsung metode balas jasa. Keduanya sama-sama merasa berperan penting.

Dokter merasa berperan penting karena menolong dan mengobati pasien, sehingga tanpa pasien dokter tidak bisa mendapatkan apa-apa.

Dalam rumah tangga tipe ini terdapat sikap saling menonjolkan perannya masing-masing, sehingga tidak ditemukan titik temu dan jauh dari sinergisitas antara keduanya.

Ujung-ujungnya rasa arogan muncul dari masing-masing individu lantaran keduanya saling mengedepankan perannya.

“Misalnya istri berkata kepada suaminya, “Mas itu sangat beruntung menikah dengan saya. Rumah, mobil dan pekerjaan yang mas dapatkan adalah pemberian dari orangtua saya lantaran mas nikah dengan saya”.

Lalu dengan tidak kalah, suami berkata, ”Eh dengar ya, seandainya aku tidak menikahi kamu. Kamu akan menjadi perawan tua yang tidak laku. Dan kamu mestinya bersyukur aku mau menikah dengan kamu.

Dalam rumah tangga ini keributan akan terus terjadi akibat rasa arogan dari masing-masing walaupun hanya bersumber dari masalah dan hal yang kecil,” terangnya menegaskan.

Begitu juga dengan model pasar. Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Dua karakter yang ada dari masing-masing adalah pembeli yang ingin mendapat harga serendah-rendahnya.

Sedangakan penjual ingin menjual barang untuk memperoleh harga yang setinggi-tingginya. Apabila keduanya saling memberikan definisi harga akan terdengar “pokoknya harga sekian.”

Di sana tidak terdapat titik atau koma sehingga tidak akan pernah bertemu keduanya dan kesepakatan tidak terwujud.

Misalkan saat istri mengatakan, ”Pokoknya aku tidak mau dibatasi, sebagai istri aku tidak mau hanya menjadi ibu rumah tangga, titik.”

Lalu suaminya menjawab, ”Pokoknya selama kamu menjadi istriku, tugas kamu adalah mencuci, mengepel, memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak, itulah tugas kamu sebagai ibu rumah tangga, titik.”

Dalam contoh komunikasi ini maka masing-masing memunculkan egonya, sehingga kata titik adalah tawaran puncak yang menjadi harga mati.

“Keduanya menawarkan pemaksaaan tanpa ada kompromi. Kalau hal ini terjadi maka selamanya keduanya tidak akan pernah terjadi kesepakatan, sebelum kata titik itu diubah dan dilanjutkan dengan satu kalimat penawaran yang lain,” urai Reza.

Selanjutnya rumah tangga model kuburan. Ia menggambarkan suasana yang menonjol dari kuburan adalah sepi, sunyi, tenang dan tidak ada suara.

Rumah tangga model ini sangat jarang terjadi komunikasi di antara penghuninya. Masing-masing diam dalam urusan dan aktivitasnya tanpa punya kepentingan untuk saling berkomunikasi.

“Masing-masing merasa cukup dengan kerja dan kewajibannya tanpa ada hubungan imbal-balik dan membangun komunikasi yang efektif,” sebutnya.

Kemudian yang kelima adalah rumah tangga model sekolah. Di dalam model ini ada tiga akivitas 3A, yaitu asah, asih, dan asuh.

Komitmen bersama antara suami dan istri untuk saling mengasah, mengasih dan mengasuh. Kata saling di sini menunjukkan adanya hubungan dua arah, timbal-balik antara keduanya dan bukan hanya hubungan satu arah.

Reza menterjemahkan mengasah berarti saling menajamkan wawasan. Suami senantiasa memberikan hal-hal baru yang berguna kepada istri.

Dan istri juga berbagi (sharing) pengalaman kepada suami atas pengetahuannya. Sehingga terjadi satu sikap saling melengkapi dan membantu untuk maju.

Begitu juga mengasih adalah hubungan untuk saling perhatian. Mengasuh berarti adanya proses penjagaan dari masing-masing karena ketika telah terjadi proses pernikahan maka sebenarnya terjadi penyatuan antara keduanya.

Apabila satunya terkena aib (cela) maka juga akan berdampak pada pihak yang lain.

Tidak terlewatkan, yang keenam adalah rumah tangga model masjid. Masjid merupakan tempat beribadah. Maka disana terdapat nilai-nilai yang sangat tinggi.

Menurut suami dokter Hilmia itu menerangkan ada empat ciri rumah tangga model masjid. Seperti ketulusan, imam dan makmum, loyalitas, dan salam.

“Ketulusan merupakan penjabaran sebelum keduanya melakukan salat maka harus melakukan wudhu. Pembasuhan muka dan tangan, kaki, kepala, telinga, dan selanjutnya.

Adanya imam dan makmum. Suami adalah imam dan istri serta anak-anaknya adalah makmum. Ketika imam rukuk maka istri dan anak-anaknya juga rukuk bersama,” jelasnya.

Selain itu perlu adanya loyalitas. Sebab dalam hal ini kesetiaan adalah hal yang mutlak dari istri kepada suami dan sebaliknya.

Kemudian salam, artinya salat pasti diakhiri dengan salam. Salam ke kanan dan ke kiri yang berarti keselamatan, ketenangan dan kedamaian senantiasa menghiasi rumah tangga model itu.

“Bukan keresahan, bukan konflik, dan bukan baku hantam jika memilih model masjid. Tipe dan model manakah rumah tangga yang ingin anda bangun?

Pilih dan tentukan sekarang sebelum membina rumah tangga dan komunikasikan dengan calon dari anda,” terang pria yang sudah menerbitkan lebih dari sepuluh buku itu.

Untuk Apa Kita Harus Berkorban

Ustaz Achmad Ridho Amir (kiri) Imam Masjid Raya Batam
Setiap bulan Dzulhijjah, seluruh jemaah haji berkumpul di baitullah, Makkah Al Mukarramah. Di sana ribuan umat Islam mendatangi baitullah. Baik laki-laki perempuan, tua-muda, besar-kecil, dari berbagai belahan dunia, dan berbagai suku serta bangsa.

Semuanya meninggalkan keluarga, harta benda, anak, istri, dan orang-orang yang mereka cintai, demi memenuhi panggilan Allah, untuk menjalankan ibadah haji.

Semuanya sama derajatnya di sisi Allah, sebagai hamba Allah semata, tanpa membedakan kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, warna kulit, suku bangsa maupun asal masing-masing.

Semuanya berlomba-lomba ingin menjadi haji yang mabrur, menjadi hamba Allah yang taat dan memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Allah. Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil pada momen ibadah haji ini.

Idul Adha identik dengan Idul Qurban, tapi qurban yang dimaksudkan bukan sekedar menyembelih hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima.

Qurban yang dimaksudkan adalah melaksanakan pengorbanan hakiki, yakni mengorbankan sebagian yang kita miliki dan cintai, baik harta benda maupun penghormatan untuk dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkan.

Hal itu dilakukan semata-mata untuk melaksanakan ta’abbudilallah, yakni mengabdi kepada Allah dalam rangka memperingati dan mengenang pengorbanan besar yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam beserta keluarganya.

Pengorbanan tidak hanya bisa dijadikan pelajaran dalam hidup saja, namun juga mampu meningkatkan taraf kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Pengorbanan yang mampu mengangkat hasrat kemanusian, meningkatkan kapasitas hidup dan kemampuan pribadi, menjadi orang mulia, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Rabbul Izzah.

Demikian itu yang pernah dilakukan dan didapatkan Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Peristiwa pengorbanan besar tersebut dimulai ketika Ibrahim dengan tulus ikhlas dan rida melaksanakan perintah Allah yang “tidak logis”.

Yaitu seorang ayah atas isyarat mimpi harus menyembelih satu-satunya putra tercintanya. Perintah Allah tersebut berawal dari bisikan yang mengusik tidur Abal Anbiya’ Ibrahim.

Allah memberikan wahyu lewat ru’yah shodiqoh kepada nabi-Nya agar menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail. Ketika Ibrahim terjaga dari tidurnya, ia mengira apa yang mengganggu tidurnya hanyalah bisikan setan.

Sebab sangat tidak mungkin Allah yang Maha Penyayang dan Pengasih memerintahkan untuk menyembelih putra yang telah lama dinantikannya tersebut.

Namun demikian, Nabi Ibrahim mencoba merespon perintah Allah tersebut dengan akalnya. Namun kemudian dia menampik perintah tersebut lantaran tidak bisa diterima dengan logika.

Akan tetapi ketika Allah kembali mengusiknya dengan mimpi yang sama sampai tiga kali, Nabi Ibrahim khalilullah ini mencampakkan akalnya dan menerima perintah Allah dengan hati dan imannya secara taabbudan ilallah, yakni sebagai wujud ketundukan dan kepatuhan kepada Allah.

Peristiwa tersebut diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya berbentuk dialog antara seorang ayah dan anak:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash Shofat: 102).

Subhanallah, di hadapan kematian dengan pedang di tangan ayahnya sendiri seorang anak dengan tulus berkata:

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Di hadapan anak tercinta yang sedang berbaring lemas dipangkuannya dan menyiapkan lehernya untuk disembelih oleh tangannya sendiri, apa yang bisa kita lakukan?

Seorang bapak mampu melakukan hal itu semata-mata karena melaksanakan perintah Allah yang hanya diterima melalui mimpi.

Siapakah yang sanggup melakuan pekerjaan yang tidak logis itu selain para kekasih-Mu, selain orang-orang yang mata hatinya cemerlang karena telah diterangi nur ma’rifat kepada-Mu?

Sehingga mampu menerima perintah dengan cara tidak logis dan sekaligus melaksanakannya meski harus melakukan pekerjaan yang tidak logis.

Maka pantas mereka berdua kemudian mendapatkan penghormatan abadi dan ridha-Mu, bahkan menjadi lambang pengorbanan dan perjuangan hidup sepanjang zaman. Sehingga dikala dengan sabar dan penuh keikhlasan Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah tersebut, Allah pun bangga kepadanya.

Sedetik sebelum mata pedang yang sudah diasah tajam itu menyentuh leher anak yang sudah terpejam matanya, dengan kuasa-Nya Allah mengganti tubuh anak tersebut dengan seekor kambing kibas dari surga.

Sebuah indikasi dan pelajaran yang amat berharga bahwa apabila orang bisa bersabar dalam menghadapi ujian dan musibah, rida, dan ikhlas dalam menjalaninya meski nyawa taruhannya, maka bukan saja akan mendapat pahala, namun juga Allah akan memberikan ganti yang lebih baik dan sempurna.

Bahkan tidak hanya itu saja, pengorbanan besar yang dilakukan dua manusia mulia tersebut ternyata tidak sia-sia, tidak hilang begitu saja ditelan zaman.

Tetapi terbukti telah menjadi pondasi yang kokoh kuat atas bangunan Kota Makkah al Mukarramah dan keberkahan Allah yang dicurahkan di atasnya sampai saat sekarang.

Selain itu, dari Nabi Ibrahim lahirlah para nabi-nabi, para shalihin, para hamba Allah yang mulia di dunia dan akhirat.

Di samping hal penting tersebut, ibadah qurban juga mengandung pesan kepada kita agar memiliki jiwa sosial dan peka terhadap penderitaan sesama serta pembangunan mental spiritual yang tangguh.

Ungkapan rasa syukur atas segala anugerah yang diwujudkan dengan menasarufkan (membagikan) sebagian harta yang kita miliki.

Caranya dengan membeli dan menyembelih hewan qurban kemudian pendistribusian dagingnya diberikan kepada kalangan fuqara wal masaakin agar di hari raya ini, mereka dapat menikmati kegembiraan yang sama.

Di samping itu, cara ini merupakan simbol agar kita bersedia berbagi kepada sesama dan ikut meringankan beban hidup orang lain.

Dengan ini akan membangun kekuatan persaudaraan antara sesama umat, juga menguatkan jiwa kita secara pribadi dalam menghadapi tantangan dan kompetisi hidup yang rasanya seakan tiada berkesudahan.

Peristiwa Idul Qurban telah dicatat dalam sejarah kemanusiaan dan bahkan harus diperingati oleh setiap pribadi muslim pada setiap tahunnya.

Kita semua diwajibkan melaksanakan Ibadah Haji bagi yang mampu yang salah satu tujuannya untuk memeringati peristiwa sejarah tersebut.

Ini terbukti dengan manasik haji yang dilakukan dalam ritual haji oleh jemaah yang sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah Al Mukarramah.

Sekarang kita harus menanyakan kepada diri sendiri? Pengorbanan apa yang sudah kita lakukan selama ini untuk kejayaan kita, keluarga, mencapai peningkatan tarap hidup yang kita inginkan dan dambakan selama ini?

Pengorbanan seperti apa yang sudah diberikan untuk kebahagiaan kita dan anak cucu kita, masyarakat di lingkungan kita demi kemuliaan hakiki baik di dunia serta di akhirat kelak? Wallahu ‘alamu bishawab.
 
Copyright © 2008 Masjid Raya Batam | Supported by: Ini Bukan Sembarang Bekam